Novel yang sangat seru! Yang Memberikan Inspirasi dan Motivasi, Simak Selengkapnya 👇

Jakarta ~ Media Aspirasi ~ Di ibukota ini, siapa yang tidak pernah mendengar nama Adipura. Pengusaha kaya raya yang baru-baru ini menggegerkan jagat maya.


Media bisnis diramaikan dengan kasus manipulasi data yang membuat perusahaannya rugi besar. Sedangkan media hiburan, diramaikan dengan pernikahan beda kasta yang dijalani Natasha Adipura, putrinya.


Perusahaan dan pernikahan, dua hal yang santer diberitakan. Membuat telinga Adipura dan keluarganya panas dengan komentar orang terdekat, juga dari orang yang tidak mereka kenal.


Saat ini, aura ruang keluarga di kediaman Adipura nanpaknya mulai menegang. Hal itu lantaran Natasha menentang keputusan sang ayah.


Sebagai putri kandung satu-satunya, Natasha merasa paling berhak atas posisi direktur utama menggantikan ayahnya. Namun nyatanya, Adipura justru memilih anak tirinya yang bernama Joshua.


"Dengar Tasha, salahmu sendiri menolak perjodohan dan memilih menikahi sampah itu. Sekarang tanggung akibatnya. Lihatlah! Dia hanya membuat rumah ini kotor dan menjijikan. Dasar anak tidak berguna. Beraninya kau meminta hak, sedang kau hanya bisa membuat perusahaan kita rugi!" tegas Adipura sembari menatap nyalang pada pria yang bersimpuh di lantai dengan kepala menunduk sangat dalam.


"Itu bukan salahku! Sudah kukatakan berulang kali padamu, Pa," sanggah Natasha.


"Lalu mengapa kau tidak menurut padaku? Apa untungnya menikahi pria seperti dia, Tasha?" Adipura bertanya penuh penekanan, kemudian berlalu dengan kedua tangan yang terkepal.


Pria sampah itu bernama Arjuna. Seorang office boy yang dinikahi Natasha hanya untuk membuat ayahnya murka.


Sejak kecil, Natasha merasa menjadi putri yang diabaikan. Setelah ibunya meninggal, ayahnya menikahi janda dua anak yang sebelumnya merupakan sekretaris Adipura.


Posisinya semakin tergeser, karena kedua saudara tirinya selalu bisa mengambil hati ayah Natasha dengan menjadi penurut. Bukannya menjadi anak yang manis, Natasha justru bertindak semaunya dan memberontak.


Puncaknya, Natasha menolak perjodohan yang dilakukan ayahnya. Perjodohan bisnis agar perusahaan ayahnya-PT. Adipura Land mendapat dukungan dana.


Sementara itu, di salah satu sudut sofa, Joshua menyeringai. Begitu juga dengan adiknya-Kania dan Inge, ibu mereka.


"Istriku, jangan bersedih hanya karena hal sepele seperti itu." Arjuna mencoba menghibur untuk sekedar meredam emosi Natasha.


"Tutup mulutmu, suami sampah! Menikahimu kesalahan terbesar dalam hidupku. Sepele katamu? Dasar bodoh! Mulai besok, aku akan mengurus perceraian kita. Dengar itu!" Bentaknya.


Arjuna dapat melihat istrinya itu sangat marah. Ditatapnya nanar langkah Natasha yang meninggalkan ruangan itu.


Akan tetapi ... bercerai? Jangan mimpi. Pernikahan mereka baru berjalan satu bulan, dan selama itu juga bagi Natasha, Arjuna bukanlah seorang suami, melainkan pria tidak berguna yang mengusik hidupnya.


"Bagus, Jo. Dengan posisimu sekarang, kau bisa mengatur perusahaan sesuai keinginan kita. Abaikan Natasha. Jika perlu, singkirkan saja dia dari perusahaan," tutur Inge datar.


"Tentu. Aku akan melakukan yang terbaik untuk kita. Bukan untuk mereka," desis Joshua.


"Menyingkirkan istriku? Berani sekali kalian!" geram Arjuna yang mulai tersulut emosinya.


Joshua tergelak sesaat. Dengan senyuman sinis terpasang di wajahnya, ia pun berkata, "Lihatlah siapa yang bicara! Apa kau marah? Kalau begitu minta pada Natasha untuk memohon padaku. Mengerti?" Sambil melewati Arjuna, tanpa ragu Joshua menoyor kepala pria yang merupakan suami adik tirinya tersebut.


Inge menyeringai puas, lalu mengusir Arjuna.

"Pergi dari hadapan kami! Hiburlah istrimu! Itupun kalau dia mau." Decihnya.


Dengan perasaan geram, Arjuna meninggalkan ruangan itu. Ia berlalu ke kamar hendak menghibur istrinya sesuai saran dari Inge.


Natasha nampak sangat frustasi dengan keputusan Adipura. Di meja kerja itu, Arjuna melihat istrinya mengusap kasar wajahnya berkali-kali.


"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Natasha dengan tatapannya yang nyalang. Melihat sosok Arjuna yang menyedihkan membuat Natasha semakin kesal.


"Pergi dari sini!" Bentaknya kemudian.


"Tasha, Istriku ... aku,-" Arjuna langsung terdiam. Merasakan secangkir teh hijau yang tadi ia sajikan disiramkan ke wajahnya.


"Jika kau berguna sedikit saja, mungkin aku tidak akan sekesal ini padamu." Geramnya.


Arjuna tertunduk sambil mengusap sisa air teh di wajahnya. Suara pintu kamar mandi yang ditutup kasar membuat Arjuna menoleh lalu tertunduk kembali.


"Berguna sedikit saja? Tentu, Tasha. Aku akan melakukan segala cara untuk menghilangkan kekesalan dalam hatimu. Mereka pikir bisa menyingkirkan istriku? Tidak, selama aku masih ada." Gumamnya dengan gigi yang dikeratkan.


Arjuna melangkah ke lemari pakaian dan mengambil ponsel lamanya dari salah satu sudut lemari itu. Ia juga mengambil sebuah kartu dari bawah tumpukan bajunya.


Kartu berwarna dasar hitam itu dilengkapi emas murni di sisi kiri dan atas. Emas itu juga dilapisi berlian. Bank of Dubai First Royal Mastercard, merupakan kartu pemberian seorang pria bernama Ahmed yang ditemuinya minggu lalu.


Seminggu yang lalu, saat Arjuna membawakan makan siang untuk istrinya yang sedang bekerja, seorang pria menghentikan langkah Arjuna. Pria itu sepertinya bukan orang pribumi. Hanya saja, ia fasih berbahasa Indonesia. Dari postur tubuh dan gurat wajahnya, bisa dipastikan pria itu berasal dari Timur Tengah.


"Tuan Muda, senang sekali bisa bertemu anda di sini." Ujarnya.


Arjuna menoleh ke sekitar, tak ada siapapun di sana kecuali ia dan pria itu.


"Perkenalkan Tuan, saya Ahmed. Tangan kanan Tuan Abdullah, kakek anda."


"Abdullah? Apa maksud anda, Abdullah Al-Fatih?" Arjuna mengernyitkan keningnya.


"Benar. Syukurlah anda mengetahui hal itu."


"Tentu. Meski aku tidak pernah melihat wajahnya, aku akan selalu ingat nama itu. Tidak hanya sebagai kakek, tapi juga sebagai seseorang yang telah menghancurkan keluargaku," ujar Arjuna datar dan terkesan dingin.


Ahmed terlihat salah tingkah. Dengan penuh rasa hormat ia pun bertanya, "Tuan Muda, bisa kita bicara sebentar?"


Meski enggan, Arjuna menuruti. Ahmed mempersilakan Arjuna masuk ke dalam mobilnya. Dalam hati Arjuna bertanya-tanya, "Ada apa ini? Mengapa tiba-tiba ada orang kepercayaan Abdullah di sini?"


"Tuan Muda ...."


"Hanya lima menit. Aku tidak ingin istriku menunggu makan siangnya."


"Tentu, Tuan Muda. Maaf bila anda kurang nyaman berbicara di sini."


Suara pintu kamar mandi yang ditutup kasar membuyarkan lamunan Arjuna. Delikan tajam istrinya membuat Arjuna cepat-cepat menutup pintu lemari itu.


"Istriku, ada yang kau inginkan? Bagaimana kalau aku membuatkanmu jus buah yang segar?" tawar Arjuna sambil mengikuti langkah besar Natasha ke luar kamar.


"Aarrgh. Berhenti menggangguku! Aku muak mendengarmu memanggilku, istriku ... istriku. Panggil aku 'nona muda', paham!" Bentaknya untuk yang kesekian kali.


"Paham, Nona Muda." Arjuna mengangguk cepat. Meski Natasha sangat marah, pria itu tersenyum tipis menanggapinya.


Natasha mendelik pada Arjuna. Melihat ekspresi wajah Arjuna, membuat Natasha semakin merasa muak saja.


"Dasar tidak berguna," decih Natasha sembari berlalu meninggalkan Arjuna yang tertunduk menatap langkah istrinya.

*

"Terus ... terus ... ke kiri sedikit, iya sedikit lagi ... sip." Suara remaja tanggung itu terdengar lantang menantang derasnya hujan. Sambil memegang payung milik minimarket, ia mengarahkan satu persatu kendaraan yang hendak parkir di tempat itu.


"Dik, bisa pinjam payungnya?" Seorang pengemudi mobil yang baru saja terparkir memanggil pria muda yang mengenakan rompi oranye bertuliskan 'PARKIR' itu. Di saat yang sama, sebuah mobil membunyikan klakson.


Juru parkir itu pun berlari menghampiri pengemudi tadi dan memberikan payungnya. Di bawah guyuran hujan, ia pun kembali melanjutkan pekerjaannya. Sekilas ia melihat seorang anak perempuan turun dari mobil tadi dan menggunakan payung yang dipinjam darinya.


Angin dingin terasa menusuk pori, namun juru parkir yang berada di ujung minimarket itu mencoba menahan meski tubuhnya mulai menggigil. Suara perutnya yang meronta membuat ia tertunduk malu, takut ada orang lain yang mendengarnya.


"Ini, Kak." Juru parkir itu menoleh dan terkesiap mendapati anak perempuan tadi menyodorkan sebungkus roti dan satu cup cappucino panas padanya.


"Te-terima kasih." Ujarnya sambil menerima pemberian itu dengan tangan gemetar.


"Bangun! Dasar pemalas!" Umpatan Natasha membuat Arjuna terhenyak dari mimpinya. Kaki jenjang Natasha menyenggol kasar kaki Arjuna yang saat ini masih berbaring di lantai.


Natasha memang tak mengizinkan Arjuna tidur di tempat tidur bersamanya. Bahkan ia mengusir Arjuna dari kamarnya. Namun Arjuna bersikeras, tempatnya ada di kamar itu bersama istrinya. Meski ia harus rela tidur di lantai beralaskan selimut tipis seadanya.


"Buatlah dirimu berguna. Buatkan aku teh sekarang juga!" Titahnya dengan penuh amarah.


Arjuna menurut, cepat-cepat ia merapikan bekas tidurnya dan dimasukkan ke dalam lemari. Sebelum meninggalkan kamar, ia menyempatkan bertanya, "Apa ada yang kau inginkan lagi?"


"Oh My God, pria ini benar-benar membuatku hilang akal. Pergi dari hadapanku dan kembali dengan secangkir teh untukku. Cepat!"


Natasha benar-benar tak habis pikir. Mengapa Arjuna selalu banyak bertanya. Kedua matanya yang membulat mengantar kepergian Arjuna yang tergesa-gesa.


Tidak biasanya Arjuna bangun terlambat. Semalam, ia menimbang ucapan Ahmed perihal perusahaan Al-Fatih Group yang sudah atas namanya.


"Tuan Muda, Anda harus tahu bahwasanya Al-Fatih Group menghasilkan ratusan triliun setiap tahunnya. Tuan Abdullah sudah lama mengetahui perihal kondisi anda yang sulit. Hanya saja, mungkin karena masih ada ego dalam hati beliau, Tuan Abdullah belum sepenuhnya menerima anda sebagai satu-satunya Tuan Muda Al-Fatih. Tapi Tuan, sekarang beliau memutuskan untuk menyerahkan apa yang sudah seharusnya anda dapatkan sejak lama."


Tuan Muda Al-Fatih? Ya, dari buku nikah orang tuanya Arjuna tahu bahwa dirinya putra Zaid Abdullah Al-Fatih. Namun ia tidak pernah menyangka, bahwa keluarga ayahnya itu sangatlah kaya. Dari almarhumah nenek, Arjuna mengetahui sedikit masa lalu kedua orang tuanya.


Dulu, untuk membantu perekonomian keluarga, Rahma-ibu Arjuna menjadi tenaga kerja wanita di Timur Tengah. Setelah dua tahun, Rahma kembali. Namun sebulan kemudian, seorang pria Timur Tengah datang ke rumah sederhana mereka.


Namanya Zaid Abdullah, yang kemudian diketahui merupakan putra dari mantan majikan Rahma. Pada ayah Rahma, pria itu meminta izin untuk menikahi putrinya.


Ayah Rahma langsung setuju. Siapa yang bisa menolak pesona Zaid? Pria kaya, tampan, namun sangatlah sopan. Berbeda dari kebanyakan pria kaya yang biasanya bersikap arogan.


Rahma dan Zaid pun menikah. Dua minggu kemudian, Rahma ikut suaminya kembali ke rumah majikan yang kini berstatus sebagai mertua.


Nenek tidak pernah tahu apa yang terjadi. Tiga bulan kemudian, Rahma kembali. Namun tidak bersama Zaid, melainkan seorang diri. Bukan, bukan seorang diri. Karena dari pengakuannya, Rahma tengah berbadan dua.


Sejak mengandung, kondisi Rahma sangatlah memprihatinkan. Ia sering sakit-sakitan, seolah ada beban dipikirannya yang tak bisa ia bagi dengan siapapun juga termasuk orang tuanya. Satu tahun setelah melahirkan Arjuna, Rahma meninggal dunia.


Saat ini, Arjuna mulai menimbang situasi yang dihadapi istrinya. Ia mulai berpikir untuk membantu Natasha dengan apa yang dimilikinya sebagai Tuan Muda Al-Fatih.


Di dapur, tak ada pelayan yang berani menyapa Arjuna secara terbuka. Mereka memilih menjauh, seolah Arjuna sebuah bom yang akan meledak tiba-tiba.


Secangkir teh hijau telah tersedia, untuk Natasha-istrinya tercinta. Saat melewati kamar Joshua, Arjuna tanpa sengaja mendengar percakapan kakak beradik Joshua dan Kania dari pintu yang sedikit terbuka.


"Kapan kakak akan menempatkanku sebagai wakil direktur utama di perusahaan. Aku muak berada di ujung telunjuk Natasha."


"Sabarlah sebentar lagi. Aku tidak mungkin bisa melakukannya secepat itu. Kau tahu, perusahaan sedang di ujung tanduk. Aku harus bisa mencari dukungan dana untuk menyelamatkannya. Jika tidak, tua bangka itu tidak akan menyerahkan posisinya begitu saja." Joshua terdengar sangat kesal.


"Apa maksud kakak? Bukankah kemarin dia sudah memutuskan untuk menempatkan kakak di posisi itu?"


"Apa kau bodoh? Apa artinya keputusan sepihak seperti itu, heh? Aku akan diakui hanya jika dia mengumumkan keputusannya di rapat dewan komisaris. Dan kau tahu, pria tua itu semalam datang padaku. Dia bilang, 'aku beri waktu kau satu bulan, untuk membuktikan kau pantas di posisi itu'. Kau mengerti artinya? Aku harus bekerja keras untuk memperbaiki keadaan perusahaan, baru akan duduk sebagai Direktur Utama PT. Adipura Land. Tidak ada yang gratis di dunia ini, Kania."


"Apa? Heh, pria tua sialan!" Umpatnya.


"Tenang saja, aku akan mencari cara agar bisa secepatnya duduk di posisi itu. Jika perlu akan kusingkirkan siapapun yang menghalangi jalanku menuju ke sana. Sekalipun itu Adipura, ataupun Natasha."


Arjuna tertegun mendengarnya. Amarahnya mulai meletup, namun sebisa mungkin Arjuna meredamnya. Ia meneruskan langkah mengantar teh untuk istrinya.


Arjuna terkesiap, tidak ada yang meragukan pesona Natasha Adipura. Wanita anggun mempesona setiap mata yang menatapnya. Bahkan dalam balutan pakaian formal, Natasha terlihat sangat elegan dan tentunya menawan.


"Apa yang kau lihat?" Kening Natasha berkerut dengan tatapannya yang menajam. Ia tidak pernah suka jika Arjuna menatapnya.


"Kau selalu terlihat cantik, Tasha." Ujarnya dengan senyum terukir di wajah.


"Jangan pernah menyebut namaku dengan mulutmu itu. Aku memang beruntung dianugerahi wajah yang cantik. Tapi sayangnya, aku tidak beruntung karena dianugerahi suami seperti dirimu." Decihnya.


Arjuna tersenyum lebar mendengar Natasha mengakuinya sebagai suami meski dengan berat hati. Namun senyum itu seketika memudar, mendengar ucapan Natasha selanjutnya.


Dengan ekspresi yang dingin, Natasha berkata, "Hari ini, aku akan minta Adam mengurus perceraian kita."


"Aku tidak mau," sahut Arjuna cepat.


"Jangan membantahku!" pekik Natasha.


"Kita tidak akan berpisah. Tidak, selama aku masih hidup." Tegasnya.


"Beraninya kau!" Dengan langkah yang lebar Natasha menghampiri Arjuna. Tangannya hampir saja melayang akan menampar pria yang jadi suaminya itu. Arjuna sudah pasrah sambil memejamkan mata. Namun ternyata Natasha urung melakukannya dan memilih menggertakkan gigi sambil mengepalkan kedua tangannya.


"Keluar sekarang juga. Keluar!" Pekiknya.


"Tentu. Ini tehmu, Istriku. Selamat bekerja, aku akan mengantarkan makan siang untukmu."

Beberapa hari ini, karyawan di bagian departemen keuangan merasa kurang nyaman dalam bekerja. Kehadiran beberapa orang yang tergabung dalam tim audit menggangu kinerja mereka.


Tim audit itu mengindikasikan telah terjadi manipulasi data serta adanya dokumen palsu pada banyak transaksi besar dalam kurun waktu satu tahun terakhir. Sebagai direktur keuangan, Natasha menjadi orang pertama yang dicurigai dan tersudutkan.


Mereka kesulitan menginvestigasi, karena manager keuangan telah berganti. Sejak empat bulan yang lalu, Kania yang menduduki posisi itu menggantikan Irwan.


Di ruangannya, Natasha terlihat sangat frustasi mengetahui Irwan tak dapat dihubungi. Satu minggu ia mencari tahu perihal pria itu, selama itu pula waktunya terbuang sia-sia.


"Bagaimana, ada kabar apa?" tanya Natasha pada Rama, Asistennya yang baru memasuki ruangan.


"Belum ada, Nona. Irwan tetap tidak bisa dihubungi. Alamatnya juga sudah berganti. Menurut pemilik baru rumah itu, kemungkinan Irwan dan keluarganya pindah ke luar negeri."


"Sial. Apa dia sengaja melakukan ini padaku? Rama, apa menurutmu ini memang sudah direncanakan? Tapi bagaimana bisa? Cari cara agar bajingan itu ditemukan. Aku tidak bisa berkilah apa-apa jika dia tidak ada. Seenaknya saja memalsukan tanda tanganku." Geramnya.


"Dimana Kania?"


"Di ruangan wakil dirut, Nona."


"Panggil sekarang juga!" Rama mengangguk hormat dan berlalu dari ruangan itu.


Tak berselang lama, Kania masuk ke dalam ruangan dengan gayanya yang angkuh. Natasha mendelik melihat raut wajah saudari tirinya tersebut.


"Apa yang kau lakukan di ruangan Joshua? Apa kalian sedang menertawakanku, atau berencana menyingkirkanku? Di perusahaan ini, posisimu Manager Keuangan, bukan Asisten Joshua. Jadi tetaplah di ruangan dan kerjakan tugasmu!" Tegasnya.


"Kau yang membuat masalah, Tasha. Kenapa aku yang harus memikirkan dan mencari solusinya? Sebaiknya kau perbaiki keadaan ini secepatnya. Aku muak berada di departemen yang sama denganmu!" sahut Kania sinis.


"Lancang!" Natasha melemparkan beberapa berkas ke wajah Kania. Sorot matanya menajam melihat amarah di mata Kania yang sedang mengepalkan tangannya.


"Keluar! Menyebalkan, tidak tahu diri!" Kania berlalu menahan amarahnya mendengar pekikan Natasha.


Di ruangan direktur utama, Adipura terlihat sangat frustasi dan putus asa. Sejak satu bulan terakhir, tekanan datang silih berganti dari para pemegang saham. Mereka meminta Adipura mencari solusi sendiri atas apa yang terjadi.


Besarnya nominal uang yang harus dibayar berbanding terbalik dengan kondisi perusahaan yang merugi. Daftar utang jangka pendek yang harus dibayarkan beserta interest-nya menjadi mimpi buruk Adipura karena para investor menarik diri.


Sialnya, Natasha menolak angin segar yang ditawarkan pemilik PT. Sinar Jaya. Jaya Diningrat bersedia membantu dengan syarat Natasha menjadi istri dari putranya yang tuna daksa.


Di tempat lain, dengan mengendarai motor bebek era 80-an, Arjuna menuju Al-Fatih Group cabang Indonesia. Ia akan bertemu dengan Ahmed di sana.


"Berhenti, Mas. Mau ke mana?" tanya security yang menghentikan laju motor Arjuna.


"Mau ke sini, Pak," tunjuk Arjuna.


"Mau apa, Mas? Kalau mau melamar kerja, belum ada lowongan. Sudah sana, putar balik lagi!" Usirnya.


Belum sempat Arjuna menjawab, sebuah mobil yang akan menuju basement membunyikan klakson sangat panjang. Security itupun memaksa mendorong mundur motor Arjuna. Pengendara mobil itu menyembulkan kepalanya.


"Ckck, merusak pemandangan aja tu motor butut. Udah nggak zaman, Kong. Haha, Engkong gue juga belum tentu mau motor butut begitu." Decihnya dengan tatapan menghina.


Mendengar hal itu, Arjuna hanya menyeringai tipis. Tak ada keinginan meladeni ocehan pria tersebut.


"Nih, Pak. Kasih ke dia. Ckck kasian. Udah butut, mogok lagi. Buang aja! Mana ada yang mau beli motor butut begitu," ujar pria itu sok tahu, kemudian melaju ke basement untuk memarkirkan mobilnya.


Security itu terlihat bingung. Namun kemudian memberikan uang nominal sepuluh ribu pemberian pria tadi pada Arjuna.


"Untuk bapak saja. Motor saya nggak mogok kok," ujar Arjuna sambil menempelkan ponselnya di telinga.


Security itu mendelik pada Arjuna. Pikirnya, sikap Arjuna yang gengsi menerima pemberian pemilik mobil tadi tak sepadan dengan penampilannya yang sangat sederhana.


Arjuna kembali memasukkan ponsel ke dalam tas slempang miliknya. Sambil tersenyum kecut, ia meminta izin pada security itu untuk menunggu sebentar saja.


Tak lama, Ahmed terlihat keluar dari lobi gedung. Dengan langkah yang tergesa-gesa, pria itu menghampiri Arjuna.


"Tuan Muda. Maaf telah membuat anda menunggu."


"Tidak apa-apa, Pak eh Tuan."


"Panggil saja saya Ahmed. Silahkan, Tuan."


Arjuna mengangguk canggung, lalu meminta izin pada security itu lagi.


"Pak, maaf nih. Ikut parkir dulu ya." Security itu tersenyum kikuk.


"Pak, parkirkan motor Tuan Muda di tempat yang teduh. Jangan sampai joknya panas," titah Ahmed tegas.


"Baik, Tuan."


Security itu terlihat bingung dengan sikap Ahmed yang merupakan CEO di perusahaan ini. Ahmed sangat sopan pada tamu yang katanya Tuan Muda itu.


"Mana ada Tuan Muda bajunya belel begitu." Decihnya sambil menempatkan motor Arjuna.


***


"Silahkan duduk, Tuan muda."


"Ahmed, jangan memanggilku begitu. Panggil saja Arjuna."


Arjuna menatap sekitar ruangan itu. Sebagai owner, ia memiliki ruangan khusus yang tidak bisa diakses sembarang orang.


"Maaf, saya tidak bisa melakukannya. Anda, Tuan saya."


"Baiklah. Terserah saja. Aku ingin meminta satu hal padamu."


"Silahkan, Tuan. Apapun itu akan saya laksanakan."


"Sembunyikan identitasku."


"Apa? Maksud anda ... baiklah."


"Ahmed, aku belum mengerti banyak tentang bagaimana menjalankan perusahaan. Tolong pelajari masalah yang terjadi di perusahaan Adipura Land. Berikan aku solusi untuk mengeluarkan istriku dari masalah itu. Secepatnya."


"Tentu, Tuan. Sebelumnya, Adipura Land menawarkan kerjasama dengan perusahaan ini. Namun melihat kondisi terkini, kami berpikir ulang untuk investasi."


"Investasi? Apa itu artinya kita bisa memegang kendali perusahaan itu."


"Tentu. Jika anda mau, jangankan investasi, kita bisa membeli perusahaan itu."


"Benarkah? Tapi tidak, aku yakin Adipura tidak akan menjualnya."


"Kita bisa membeli sebagian besar saham mereka. Dengan begitu, kita akan berperan penting dalam setiap kebijakan pada rapat dewan komisaris."


"Oke. Aku minta lakukan secepatnya."


"Baik, Tuan. Siang ini saya akan menemui Tuan Adipura."


Arjuna mengangguk-anggukan kepalanya, lalu berkata : "Ahmed, aku akan belajar banyak padamu. Tapi sekarang, aku harus memasak makan siang untuk istriku. Mungkin kita akan bertemu di sana, ingatlah untuk berpura-pura tidak mengenaliku."


Ahmed mengangguk hormat walau dalam hati belum mengerti kenapa Arjuna memintanya melakukan itu.


Arjuna menolak diantar Ahmed ke luar gedung. Dengan menggunakan lift khusus eksekutif, Ia meninggalkan lantai itu. Saat melewati lobi, tatapan Arjuna tertuju pada pria yang tadi mencemoohnya.


"Nona, siapa pria itu?" tanya Arjuna pada seorang karyawati yang ditemuinya sambil menunjuk pria yang dimaksud.


Karyawati itu mengernyitkan alis melihat penampilan Arjuna. Menyadari hal itu, Arjuna hanya bisa tersenyum tipis.


"Itu Pak Rio, Manager Personalia." Sahutnya datar dan berlalu begitu saja.


Arjuna menyeringai melihat Rio, dan meneruskan langkahnya ke luar gedung Al-Fatih Group.


"Terima kasih, Pak. Jok motor saya jadi nggak panas," ujar Arjuna sembari mengenakan helm-nya.


"Kalau bukan Tuan Ahmed yang meminta, saya nggak mau mas. Saya heran, kenapa Tuan Ahmed menyebut mas ini tuan muda," delik Security itu.


"Sama, saya juga heran. Haha ... permisi Pak."


Arjuna mengendarai motor lamanya menuju pasar terdekat. Dalam benaknya ia mencoba memikirkan menu apa yang akan dibuat untuk makan siang Natasha.


Rapat direksi siang ini terasa alot dan membuat setiap anggotanya frustasi. Bagaimana tidak, mereka diharuskan memberikan paling tidak satu solusi bagi masalah yang sedang dihadapi.


Pihak bank sudah menghimbau perusahaan yang memiliki utang diatas 1 triliun agar melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI). Termasuk salah satunya PT. Adipura Land. Tentu saja hal itu membuat Adipura sangat kebingungan mencari jalan keluar.


"Tuan, pemangkasan karyawan mau tidak mau harus kita lakukan," usul Joshua.


"Kita akan melakukan itu. Keuangan perusahaan hanya sanggup membayar gaji mereka sampai tiga bulan ke depan. Untuk uang pesangon, kita akan mebayarnya dengan mencicil," tutur Adipura.


"Bagaimana dengan jaminan kesehatan karyawan yang selama enam bulan ini menunggak, Tuan?" tanya seorang anggota direksi.


"Perusahaan belum bisa membayarnya dalam waktu dekat ini. Jika kita mendahulukan itu, maka gaji tidak akan bisa dibayarkan. Apa kau mau seperti itu?" Joshua menatap tajam pada pria yang bertanya tadi.


"Tentu tidak, Tuan. Tapi ...."


"Perusahaan akan melunasi jika dana sudah ada," ujar Adipura yang tak terbantahkan lagi.


"Bagaimana kalau kita memberikan pilihan," usul Natasha.


"Pilihan apa? Kau pikir perusahaan ini dalam posisi bisa memilih?" Joshua mencibir usulan Natasha.


Natasha tidak mengabaikan tanggapan Joshua. Tatapannya tertuju pada Adipura.


"Biarkan karyawan mengetahui keadaan perusahaan. Mereka bisa memilih antara berhenti atau tetap bekerja. Jika memilih berhenti, uang pesangon akan dibayarkan dengan mencicil. Tuan, mereka karyawan kita yang kebanyakan sudah lama mengabdi. Kita tidak bisa memutus hubungan kerja dengan mereka begitu saja," tutur Natasha.


"Lalu dengan apa kita akan membayarnya? Apa kau punya cukup uang untuk membayar mereka, heh? Atau suamimu yang akan membayarnya?" cibir Joshua lagi.


"Aku tidak sedang bicara padamu. Diamlah," geram Natasha dengan tatapannya yang nyalang tertuju pada Joshua.


Asisten Adipura menghampiri dan membisikkan sesuatu pada atasannya. Natasha dan Joshua merasa heran saat wajah Adipura menyunggingkan senyuman.


"Rapat kita tunda. Natasha dan Joshua, ikut ke ruanganku. Ada tamu penting sedang menunggu kita," ujar Adipura.


Di ruangan Adipura, Ahmed sedang bicara dengan Tuannya.


"Benar Tuan, perusahaan ini milik mertua Tuan Muda. Baik, saya akan sampaikan secepatnya," ucap Ahmed pada Abdullah.


Adipura, Natasha, dan Joshua menyapa Ahmed dengan hormat. Kedatangan CEO Al-Fatih Group itu bagai angin segar di siang yang terik.


"Bagaimana Tuan Ahmed, apakah anda berubah pikiran?" tanya Adipura penuh harap. Mengingat Ahmed pernah mundur saat dirinya menawarkan kerjasama.


Al-Fatih Group memang belum lama berdiri di Indonesia. Namun nama mereka langsung melambung, mengingat induk perusahaan yang memang sudah tak diragukan lagi di dunia Internasional.


"Atasan saya sudah memutuskan untuk berinvestasi di perusahaan ini, Tuan. Akan tetapi dengan satu syarat, anda harus menjual setidaknya 70% saham anda pada kami," tutur Ahmed.


"Tentu," sahut Adipura cepat.


"Tuan ...." Natasha ingin menyela, namun urung karena mendapat isyarat dari Adipura.


Di sisi lain kantor itu, Arjuna memarkirkan motornya tak jauh dari pos security. Ia menjinjing rantang makan siang untuk istrinya.


Security itu menyapa Arjuna dengan ramah. Selain karena Arjuna merupakan menantu pemilik perusahaan, semua orang di kantor itu mengetahui bagaimana Arjuna di perlakukan. Mereka merasa kasian, tapi juga tak sedikit ada yang merasa iri.


Arjuna berjalan menuju lobi gedung. Terbayang olehnya moment tak terduga saat Natasha memintanya untuk menikah.


Saat itu Natasha sedang bertengkar hebat dengan Adipura di depan gedung. Melihat seorang office boy melewati kerumunan orang yang menyaksikan pertengkaran mereka, Natasha dengan lantang berseru, "Hai, Kamu! Menikahlah denganku."


Arjuna tersenyum tipis, ia tidak pernah menyangka akan menikahi wanita yang menjadi idaman setiap pengusaha di ibukota ini.


"Pak Rama, Non Tasha dimana?" tanya Arjuna saat tak mendapati Natasha si ruangannya.


"Di ruangan Dirut, Mas."


"Oh, oke. Terima kasih." Arjuna langsung berbalik dan berjalan dengan cepat. Ia tak ingin Natasha melewatkan makan siangnya.


Rama yang baru tersadar, cepat-cepat menyusul Arjuna. Namun ia hanya bisa menatap nanar melihat Arjuna sudah memasuki ruangan direktur utama.


"Nona Muda, waktunya makan siang ...." Arjuna terlihat riang saat masuk tanpa permisi ke dalam ruangan itu. Wajah Adipura langsung merah melihat sikap Arjuna yang seenaknya.


"Dasar sampah! Berani sekali kau masuk ke ruanganku," hardik Adipura.


Adipura menatap nyalang pada Arjuna, begitu juga Joshua dan Natasha yang memperlihatkan rasa tidak suka. Sedangkan Ahmed merasakan amarah yang meletup tiba-tiba mendengar kata yang terlontar dari mulut Adipura.


"Tuan, bukankah dia menantu anda?" Ahmed mencoba menyembunyikan amarahnya.


"Dia bukan menantuku. Dia hanya sampah yang bisa dibuang kapan saja," sahut Adipura sinis.


Mendengar hal itu, Natasha cepat-cepat berucap : "Aku akan makan nanti. Bawa saja itu ke ruanganku." Pintanya. Namun Arjuna bersikap tak acuh. Dengan santainya Arjuna menaruh rantang makanan yang dibawanya di atas meja.


Adipura merasa sudah tak tahan lagi melihat sikap Arjuna yang seolah sengaja ingin mempermalukannya di depan CEO Al-Fatih Group. Tanpa ragu, Adipura menghardik lagi, "Keluar!"


"Maaf, ayah mertua. Aku hanya akan keluar jika istriku sudah selesai makan siang. Silahkan dilanjutkan pembicaraan kalian, aku tidak akan mengganggu." Ujarnya santai.


Natasha menyadari situasi saat ini. Ia merasa geram sekaligus tak enak hati pada Adipura dan tamu mereka. Natasha pun kembali menyusun rantang itu dan bersiap membawanya.


"Saya permisi," ujar Natasha menahan rasa malu. Dengan kesal ia pun menarik tangan Arjuna yang memperlihatkan ekspresi bingung.


Ketiga pria dalam ruangan itu menatap kepergian Natasha dan Arjuna.


"Apa ini? Mengapa tuan muda merendahkan diri dihadapan mereka?" tanya Ahmed dalam hatinya.


"Menyedihkan. Dasar bodoh," decih Joshua pelan namun terdengar jelas oleh Ahmed.


Ahmed merasa semakin geram. Terlebih ekspresi Adipura dan Joshua memperlihatkan rasa jijik saat menatap tuan mudanya.


"Maaf, Tuan Ahmed. Karena anda harus melihat semua ini, saya benar-benar minta maaf. Bagaimana dengan nominal angka yang akan perusahaan Anda tanamkan. Saya harap kisaran angkanya cukup memuaskan," ucap Adipura.


"Tuan muda kami yang akan memutuskan berapa nominal yang akan diinvestasikan. Untuk hari ini, saya akan memastikan dulu perihal saham anda di perusahaan ini, Tuan. Saya harus bisa memastikan Tuan Muda Al-Fatih tidak berada dibawah perintah siapapun juga," sahut Ahmed.


"Tentu. Wah, saya jadi penasaran dengan sosok Tuan Muda Al-Fatih. Dia pasti orang yang hebat. Sayang sekali, Natasha memilih menikah dengan sampah itu. Jika tidak, mungkin saya bisa mendekatkan mereka," kelakar Adipura.


"Tua bangka serakah. Arjuna berguna juga. Setidaknya karena dia, Adipura tidak bisa menikahkan Natasha dengan pengusaha lain. Dengan begitu, Natasha akan tetap terlihat menyedihkan dan kesempatanku duduk di kursi itu, tentunya lebih besar." Batinnya sambil melirik kursi kebesaran Adipura yang berada tak jauh dari posisi Joshua saat ini.


Sementara itu dalam hati Ahmed bergumam, "Lucu sekali. Kalian menyanjung dan merendahkan orang yang sama. Orang yang kalian anggap sampah itu, telah menyelamatkan perusahaan ini. Suatu hari nanti, kalian akan membayar setiap hinaan yang kudengar hari ini."

Di ruangan Natasha, Arjuna berdiri dengan kepala tertunduk menunggu istrinya menyelesaikan makan siang. Meski terkenal arogan, Natasha suka sekali makan siang dengan menu rumahan.


Natasha merasa kesal dengan apa yang terjadi barusan. Sialnya, masakan Arjuna yang lezat mampu meredam emosinya. Namun bukan Natasha jika semudah itu mengakuinya, matanya mendelik melihat Arjuna yang selalu terlihat bahagia meski ia terus menekannya.


"Nona, apa permasalahanmu sudah selesai?" Arjuna memberanikan diri untuk bertanya.


"Apa perdulimu? Kau bahkan tak bisa membantu," decih Natasha.


"Berapa uang yang kau butuhkan?" tanya Arjuna pelan.


Natasha melongo, kemudian tergelak hingga hampir tersedak. Pikirnya, pria dihadapannya ini ingin menjadi pahlawan, tapi kenyataannya hanya pengemis yang menjijikkan.


"Katakan saja padaku," ujar Arjuna datar.


"Setidaknya satu triliun, apa kau punya? Heh, jangankan sebanyak itu, seratus ribu pun belum tentu kau punya. Kau pria paling menyedihkan yang pernah aku kenal. Sialnya, kau ini suamiku." Cibirnya.


"Tapi tenang saja, kita akan secepatnya berpisah. Aah, aku sampai lupa karena terlalu sibuk. Nanti aku akan menelepon Adam, dengan begitu kau tidak akan terikat lagi denganku. Kau bisa kembali membangun harga dirimu itu. Hari ini aku baik padamu, karena aku sudah merasa tenang dengan keadaan perusahaan. Al-Fatih Group akan menyelamatkan perusahaan ini," ujar Natasha panjang lebar.


"Jangan pernah bermimpi berpisah denganku, Tasha. Itu tidak akan terjadi sampai kapanpun." Ujarnya lembut.


"Oh ya? Mengapa kau tidak ingin berpisah denganku?" tanya Natasha dingin.


"Karena aku mencintaimu. Hanya itu yang bisa kukatakan padamu," tegas Arjuna.


Natasha terkesiap, namun cepat-cepat tersadar. Dengan kasar Natasha meletakkan gelas yang dipegangnya. Ia beranjak dan menatap dingin pada Arjuna.


"Sayang sekali, aku tidak akan pernah mencintai sampah sepertimu." Decihnya, dan berlalu meninggalkan Arjuna.


Arjuna memang tampan, Natasha pun mengakui hal itu. Namun sayangnya, pria itu menyedihkan.


Arjuna lalu merogoh saku untuk mengambil ponselnya. Arjuna menelepon Ahmed untuk mendengar apa saja kesepakatan dengan Adipura.


"Istriku membutuhkan satu triliun. Bagaimana, apa bisa?" tanya Arjuna.


"Tentu, Tuan."


"Minta Adipura mengirimkan Natasha sore ini ke kantor. Aku sendiri yang akan menemuinya. Ahmed, persiapkan semuanya. Aku tidak sabar melihat ekspresi Natasha saat bertemu denganku di sana," pungkas Arjuna.


Sejujurnya, Arjuna cukup terkejut saat Ahmed dengan mudahnya menerima nominal fantastis yang ia sebutkan. Satu triliun, ia bahkan tidak berani membayangkan uang sebanyak itu.


"Apa sebaiknya aku bicara dengan kakek? Bukankah aku harusnya berterima kasih padanya? Tapi ...." Arjuna merasa ragu. Setiap kali memikirkan kakeknya, ingatan Arjuna pasti terhubung pada mendiang sang ibu.


***


Natasha memasuki ruang Adipura. CEO Al-Fatih itu sudah tidak ada di ruangan tersebut. Namun sepertinya, Adipura sedang berbicara dengan pria itu di telepon.


"Bagaimana, Pa? Berapa nilai yang mereka berikan?" tanya Natasha.


"Ceraikan dia." Ujarnya datar.


"Siapa?" Natasha merasa heran. Kemudian ia teringat pada Arjuna.


"Pa. Aku ...."


"Akan kuberikan posisi direktur utama jika kau berpisah dengannya," ujar Adipura tegas.


"Tuan, apa maksud anda? Tuan sudah berjanji akan memberikan posisi itu kepada saya," protes Joshua.


"Hanya jika kau mampu menyelesaikan permasalahan di perusahaan ini. Apa kau lupa itu? Dalam beberapa hari ke depan, perusahaan akan membaik. Kalian berdua mendapatkan kesempatan yang sama. Jo, buktikan dirimu mampu dan pantas duduk di kursi itu. Sedangkan kau ... karena kau putri kandungku, aku mempermudahnya. Cukup ceraikan Arjuna."


"Itu tidak adil, Tuan," protes Joshua lagi.


"Kenapa tidak? Jangan lupa diri. Kau bukan siapa-siapa bagi kami," cibir Natasha.


"Apa itu artinya kau akan menceraikan Arjuna?" tanya Joshua penuh selidik.


"Itu bukan hal yang sulit, karena aku sendiri sudah berencana akan berpisah dengannya." Natasha terlihat percaya diri.


"Bagus. Sore ini, temui Tuan Muda Al-Fatih di kantornya," ujar Adipura senang.


"Aku? Kenapa harus aku?" tanya Natasha heran.


"Karena Tuan Muda itu sendiri yang memintanya. Kedatanganmu akan menentukan berapa yang akan dia investasikan untuk menutupi semua utang kita. Ini kesempatanmu Tasha. Aku akan memaafkanmu atas apa yang terjadi jika kau mau bertemu dengan Tuan Muda itu. Mengerti?" Adipura memberi penekanan di setiap kalimatnya.


"Baik, Pa," jawab Natasha pelan. Sementara Joshua mengepalkan tangannya. Ia geram karena merasa dibohongi dengan iming-iming posisi tertinggi.


"Tidak semudah itu, Natasha. Seenaknya saja kalian mempermainkanku." Batinnya menggeram.


Sementara itu, Arjuna mengarahkan motor ke area tempat kerjanya dulu. Tak jauh dari minimarket itu, ada toko mas yang pemiliknya cukup ia kenal.


"Koh Atung, apa kabar?" sapa Arjuna pada pemilik toko itu.


"Baik, Arjuna. Apa kabar menantu orang kaya? Aku tidak melihat ada yang berubah darimu," ujar Koh Atung sambil memperhatikan penampilan dan motor Arjuna.


"Memangnya harus seperti apa, Koh? Oh iya, cincin itu masih ada kan?"


"Cincin?" Koh Atung mencoba untuk mengingat-ingat.


"Mmm, maaf sekali Arjuna. Cincin itu sudah berpindah tangan. Teman istriku melihatnya, dan dia menawar dengan harga tinggi. Jadi Istriku memberikannya. Kau tenang saja, utangmu sudah lunas dengan bunganya. Jadi kau tidak perlu membayar utangmu padaku," ujar Koh Atung santai.


"Dijual, kenapa Koh? Bukannya Engkoh sudah berjanji akan menyimpannya sampai saya mampu membayar semua utang?" Arjuna nampak kecewa.


"Aku minta maaf, Arjuna. Tapi itu terlalu lama. Hutangmu sudah mencapai ratusan juta jika dihitung dengan bunga. Kau tidak akan sanggup membayarnya sampai kapanpun. Bunganya akan terus bertambah, jadi lebih baik cincin itu dijual saja." Tuturnya.


"Siapa yang membelinya. Saya akan menebusnya sendiri. Berikan saya alamatnya," pinta Arjuna tegas.


Arjuna merasa shock dengan nominal yang ia dengar. Uang 10 juta yang ia pinjam untuk pengobatan nenek, kini menjadi ratusan juta hanya dalam waktu kurang lebih lima tahun.


Pemilik toko mas terlihat kesal, dan memberikan alamatnya di secarik kertas. Pikirnya, tidak mungkin Arjuna mampu menebus cincin itu.


Arjuna menyusuri tempat berdasarkan alamat yang ditulis Koh Atung yang tak lain sebuah mall besar di pusat kota. Dalam hati ia mulai kesal karena waktunya jadi terbuang.


Dua jam lagi ia akan bertemu Natasha. Tapi sekarang ia harus menyusuri tempat itu demi mendapatkan kembali cincin sang ibu.


"Apa benar ini tempatnya? Aku pikir pembelinya penjual emas juga. Aku jadi penasaran berapa harga yang ia bayar untuk membeli cincin ibu. Bukankah tadi Koh Atung bilang utangku ratusan juta. Lalu apakah harganya lebih besar dari itu?" gumam Arjuna.


Arjuna melangkah memasuki tempat yang merupakan sebuah toko tas branded. Di dalam toko, ia disambut seorang pegawai yang mengernyitkan kening melihat penampilan Arjuna.


"Maaf, ada yang bisa saya bantu?" Sapanya mencoba untuk ramah.


"Saya ingin bertemu dengan Cik Mey. Ada?" tanya Arjuna. Pegawai itu mengernyitkan keningnya. Belum sempat ia menjawab, seorang wanita memanggilnya.


"Nih, kasih ke dia. Suruh cepat pergi! Bisa-bisa pembeli nggak jadi masuk kalau ada gembel di dalam toko," ujar Cik Mey sambil menyerahkan uang dua ribu rupiah.


Arjuna yang mengetahui hal itu, langsung menghampiri. Ia tak ingin membuang waktu lebih lama lagi. Terlebih, ia melihat cincin ibunya melingkar di jari wanita itu.


"Cik, saya ke sini untuk menebus cincin ibu saya yang Cik Mey beli dari istri Koh Atung," ujar Arjuna datar.


Cik Mey langsung melihat cincin itu dan menyembunyikan jarinya di lipatan tangan. Senyuman sinis tertuju pada Arjuna yang menurutnya tak tahu malu.


"Jadi ini cincin ibumu? Berapa kau menjualnya pada Koh Atung?" Tanyanya sinis.


"Saya tidak menjualnya. Saya hanya menjadikannya jaminan atas uang 10 juta yang saya pinjam," sahut Arjuna jujur.


Cik Mey terkekeh puas. Di sela tawa ia bergumam, "Dasar bodoh."


"Maaf, Cik. Saya tidak bisa lama-lama. Berapa uang yang harus saya bayar untuk mendapatkan kembali cincin ibu saya?"


"Setidaknya 5 miliyar," sahut Cik Mey datar.


"Apa?" Arjuna terbelalak, "Semahal itukah? Itu kan hanya cincin dengan batu akik merah biasa?" Gumamnya dengan raut wajah yang bingung.


Cik Mey masih saja terkekeh, melihat raut wajah Arjuna yang kebingungan.


"Istri Koh Atung menjual cincin itu pada Cik Mey dengan harga berapa?" tanya Arjuna pelan.


"1 miliar, dan aku akan menjualnya lebih dari itu. Setidaknya 5 miliar mungkin, bisa kurang, bisa juga lebih. Ini ruby terbaik yang pernah ada. Meskipun ukurannya tidak besar, harganya sangat mahal. Apa kau bilang tadi, batu akik? Hehehe ...." Cik Mey kembali terkekeh.


Arjuna kini mengerti mengapa Koh Atung menerima begitu saja cincin mendiang ibunya saat itu. Koh Atung bahkan mungkin sengaja memberi bunga tinggi agar ia tak sanggup menebusnya.


Arjuna melempar pandangan pada beberapa tas yang diletakkan dalam kotak kaca di lemari yang ada di belakang Cik Mey. Ada satu tas yang menarik perhatiannya.


"Cik, barapa harga tas itu?" tunjuk Arjuna pada sebuah tas yang terlihat simple dan elegan.


"Itu Chanel Diamond Forever Handbag, harganya 3,6 miliar," sahut Cik Mey datar.


"Saya akan membeli itu. Istri saya pasti akan cocok bila mengenakannya," ujar Arjuna santai.


"Ck, kau jangan mimpi. Tas itu hanya ada 13 buah di dunia, orang sepertimu tidak akan bisa membelinya," decih Cik Mey.


"Saya tidak punya banyak waktu. Saya ambil itu," ujar Arjuna sambil menyodorkan kartu pemberian Ahmed pada Cik Mey.


Cik Mey terbelalak. Wanita itu memperhatikan dengan seksama kartu hitam yang dipegangnya.


Ini ... Royal Mastercard? Bagaimana mungkin orang miskin ini memilikinya? batin Cik Mey. Ditatapnya pria yang sedang menerima telepon dari seseorang tersebut.


Cik Mey benar-benar shock mengetahui orang yang sempat dianggap gembel ternyata memiliki kartu yang sejauh ini hanya dimiliki anggota kerajaan dan orang super kaya dengan aset triliunan rupiah. Kartu yang tak berlimit itu bahkan bisa membeli sebuah kondominium, hingga kapal pesiar.


"Ada apa, Cik?" tanya Arjuna saat menyadari Cik Mey melihat cincin yang melingkar di jarinya.


"Cik Mey berubah pikiran? saya akan membayar cincin itu dengan harga yang pantas," ujar Arjuna.


Cik Mey cepat-cepat mengambil sendiri tas yang dipilih Arjuna. Tak hanya itu, Cik Mey juga melepaskan cincin yang dikenakannya.


"Ini, aku kembalikan padamu. Sekarang bayar semuanya," ujar Cik Mey sambil menyodorkan mesin EDC (Electronic Data Capture) dengan nominal harga yang ia inginkan.


Arjuna melirik Cik Mey yang sedang memasukkan tas ke dalam paperbag dengan logo sebuah brand ternama dengan sangat hati-hati.


"Maaf, Cik. Apa ini transaksinya di jadikan satu?" tanya Arjuna.


"Oh iya. Mungkin sebaiknya dipisah saja." Cik Mey pun menekan angka dengan nominal harga tas yang dibeli Arjuna, dan kembali menyodorkan mesin EDC itu.


Arjuna memasukkan nomer pin nya dan transaksi berhasil. Cik Mey sangat senang. Ia kemudian kembali memijit angka untuk harga cincin milik ibu Arjuna.


"Cik, saya boleh menawar? Bagaimana kalau saya sendiri yang memasukkan nominalnya," ujar Arjuna santai.


"Boleh, tentu saja." Cik Mey terlihat sangat yakin dengan keputusannya. Ia memerintahkan pegawainya untuk menyambut pembeli yang baru saja masuk ke tokonya. Di saat yang bersamaan, Arjuna sudah mengakhiri transaksinya.


"Ini, Cik. Terima kasih, saya harus segera pergi." Arjuna mengambil tas yang sudah dibelinya.


"Oke. Terima ka ... apa ini? Hanya 200 juta?" pekik Cik Mey.


"Kekurangannya silahkan Cik Mey minta pada Koh Atung. Tolong sampaikan pada Koh Atung, saya sudah membayar utang 10 juta yang saya pinjam beserta bunganya. Terima kasih," ujar Arjuna dan berlalu tanpa menghiraukan pekikan Cik Mey dengan sumpah serapahnya.


Arjuna berjalan sangat cepat, pertemuannya dengan Natasha sudah semakin dekat. Ahmed sudah menunggu di depan mall, Arjuna lalu meminta seseorang yang bersama Ahmed membawa motornya ke Al-Fatih Group.


"Ahmed, untuk apa kita ke sini?" tanya Arjuna heran.


"Bukankah anda meminta saya menyiapkan semuanya, Tuan Muda? Mari, silahkan masuk. Saya akan pastikan semuanya akan sesuai dengan keinginnan anda."


Walau nampak ragu, Arjuna akhirnya menuruti apa yang diminta Ahmed.


***


Langkah Natasha terlihat sangat percaya diri memasuki gedung Al-Fatih Group. Ia merasa tersanjung karena disambut langsung oleh Ahmed yang merupakan CEO di perusahaan ini.


"Silahkan masuk, Nona."


"Terima kasih," sahut Natasha lembut. Ia menatap heran pada kursi yang membelakanginya.


"Tuan Muda, Nona Natasha dari Adipura Land sudah tiba," ujar Ahmed pada Tuan Mudanya.


Perlahan, kursi itu berputar. Seorang pria terlihat santai menatap lurus pada Natasha.


Natasha terkesiap. Sorot mata pria yang mengenakan thobe putih, lengkap dengan ghutra dan igal di bagian kepala itu sekilas mengingatkannya pada Arjuna. Hanya saja, Tuan Muda itu terlihat lebih berwibawa dengan kumis dan jambang tipis dibagian wajahnya.


"Ehhem." Tuan Muda itu berdehem, kemudian mempersilakan Natasha untuk duduk dengan isyarat tangannya.


"Nona Natasha, perkenalkan ini Tuan Muda Al-Fatih. Beliau yang meminta anda datang ke kantor ini," tutur Ahmed.


"Selamat sore, Tuan. Saya Natasha Adipura. Bisa langsung pada pembicaraan kita, Tuan?" Tuan Muda itu menyeringai melihat sikap Natasha yang tidak berbasa-basi.


"Tentu. Anda pasti mengerti kondisi Adipura Land saat ini. Anda juga paham benar tujuan perusahaan kami berinvestasi, yaitu mengendalikan Adipura Land. Sebagai investor, juga sebagai pemilik saham terbesar. Apakah anda tidak keberatan, Nona?"


"Tuan Adipura sudah menyetujuinya. Kami tidak punya pilihan lain," sahut Natasha tegas.


Tuan Muda itu mengangguk pelan. Lalu mengambil sesuatu dari bawah mejanya.


"Terimalah hadiah kecil ini sebagai tanda perkenalan kita, Nona Natasha." Ujarnya sembari menyodorkan paperbag pada Natasha.


"Tidak, Tuan. Terima kasih. Saya sudah menikah. Saya datang ke sini sebagai Direktur Keuangan Adipura Land, bukan sebagai putri Tuan Adipura," tolak Natasha.


"Sayang sekali," ujar Tuan Muda itu dengan senyum yang tertahan.


"Apa maksud anda, Tuan? Apa status saya mempengaruhi kerjasama kita?" Natasha terlihat sangat heran.


"Sepertinya begitu. Tapi aku suka keterus teranganmu. Terima pemberianku itu, sebagai syarat kerjasama kita," ujar Tuan Muda itu.


"Pria aneh," decih Natasha pelan.


"Berapa yang anda inginkan, Nona?" tanya Tuan Muda tanpa menghiraukan ujung mata Natasha yang sempat mendelik padanya.


"Satu triliun," sahut Natasha cepat.


"Baiklah. Ahmed, selesaikan semuanya dengan cepat."


"Tentu, Tuan Muda," angguk Ahmed penuh hormat.


"Nona Natasha, Al-Fatih Group akan berinvestasi sebesar 1 triliun dengan obligasi selama 5 tahun. Kita akan menyelesaikan ini secepatnya," imbuh Ahmed.


"Oke. Terima kasih atas kepercayaan anda pada kami, Tuan. Terima kasih juga atas hadiahnya. Saya permisi." Natasha membungkuk hormat dan menyalami Tuan Muda Al-Fatih.


Tuan Muda itu menatap kepergian Natasha dengan tatapan sendu. Suara pintu yang ditutup menyadarkannya agar cepat-cepat menuju ruangan yang merupakan kamarnya untuk berganti peran sambil berdehem berkali-kali.


Ahmed mengantar Natasha hanya sampai pintu lift. Selanjutnya, Natasha melenggang dengan perasaan lega dan bahagia menuju lobi, lalu ke luar gedung kantor iti. Ia tak menyadari, ada seseorang yang menatapnya dari dalam mobil yang baru keluar dari basement. Sampai kemudian orang itu memanggil namanya, "Tasha!"


Natasha menoleh dan menatap heran pada orang yang kini sedang menghampirinya, "Rio?"


Keduanya saling menyapa dan mengobrol. Rupanya Rio merupakan salah satu teman Natasha semasa kuliah.


"Tuan Muda Al-Fatih? Maksud kamu, pemilik Al-Fatih Group ada di sini? Di negara ini?" cecar Rio yang seakan tak percaya.


"Iya. Memangnya kamu nggak tahu?" Kini giliran Natasha yang nampak heran.


"Enggak," geleng Rio cepat.


"Masa sih?" Natasha terlihat bingung. Di saat yang bersamaan, terdengar panggilan dari belakang mobil Rio. Arjuna yang mengendarai motornya baru keluar dari basement.


"Tasha. Sayang, kau ada di sini?" Arjuna menghampiri keduanya.


"Kau? Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Natasha heran.


"Siapa dia, Tasha? Dia memanggilmu apa tadi, Sayang? Tunggu, jangan-jangan dia ... suamimu?" Rio memperlihatkan ekspresi geli mengingat berita menggemparkan beberapa minggu kebelakang.


Natasha yang tak ingin merasa lebih malu lagi, berpamitan pada Rio tanpa menghiraukan Arjuna.


"Kasian sekali dia, terjebak dengan gembel sepertimu. Apa yang kau lakukan di sini, apa kau melamar sebagai OB?" Arjuna dapat melihat sorot mata Rio yang mengejek. Namun Arjuna hanya membalasnya dengan seringaian.


"Aarrgh, sial!" umpat Natasha. Cepat-cepat Arjuna menghampirinya, begitu juga Rio.


"Ada apa istriku?" tanya Arjuna.


"Tasha, apa yang terjadi?" tanya Rio.


"Ban mobilku kempes. Apa-apaan ini?" keluh Natasha.


"Pulanglah bersamaku," ajak Arjuna.


"Aku yang akan mengantarmu. Wanita sepertimu tidak pantas menaiki motor tua seperti itu," ujar Rio.


"Tasha." Arjuna mengulurkan tangannya.


"Ayo masuk ke mobilku," ajak Rio yang juga mengulurkan tangannya.


Natasha menatap bingung pada keduanya silih berganti.


Seperti dilansir dari Laman,  NovelToon, cari " Tuan Muda Yang Terhina ", baca gratis semua kontennya! dan jangan lupa untuk Download NovelToon.