Kepolisian dan Insan Pers, Rancu Dalam Persoalan

Bima Kota ~ Media Aspirasi ~ Pada hari rabu (09/02/2022). Kasus kematian almarhum Desy Novita Irmawati asal Desa Nipa Kecamatan Ambalawi Kabupaten Bima, dan kasus tanah di desa Tolowata, diduga masih grilia di kalangan Aparat penegak hukum (APH) Mapolres Bima Kota.


Saat Pimpinan Redaksi Media Aspirasi Online dan Cetak, Atas Nama Aryadin. Mendatangi kantor kepolisian Polres Bima Kota, di ruangan kasat Reskrim, mendapatkan tanggapan hanya bisa mengarahkan kepada kanit Perlindungan Perempuan dan anak serta di humas, untuk bisa menanggapi hal tersebut.


Dalam hal tersebut, awak Media ini melanjutkan ke ruangan PPA, yang di arahkan oleh kasat Reskrim, untuk mendapatkan  perkembangan sudah sejauh mana kasus kematian almarhum Desy Novita Irmawati.


Namun ironisnya, Buntut dalam keinginan mencari perkembangan kasus kematian tersebut, dan kasus tanah tersebut, di aparat penegak hukum APH kepolisian.


Sebagai Jurnalistik di wilayah NTB khususnya Bima dan Kota. Kami Meminta kepada bapak kapolri dan Kapolda NTB serta Kapolres Bima Kota, Agar tidak pernah menganggap musuh. Ketika para wartawan mempertanyakan lebih lanjut mengenai kasus yang pernah dipublikasikan oleh Media.


Bahwa setiap kali ada kegiatan yang dilakukan penangkapan dan serimonia tetap untuk dipublikasikan karena sudah di anggap sebagai mitra.


Namun ironisnya, setiap kali melakukan klarifikasi kepada Kasat Reskrim Polres Bima Kota, selalu saja dibuat membingungkan bagi pengiat publik.


Harapan besar bagi kami sebagai jurnalis, kepada pihak Kapolres Bima Kota agar terhubung dengan perso'alan apapun untuk ditanggapi dengan serius, mengingat. Pers, adalah kemitraan kepolisian.


Seperti kasus persetubuhan anak dibawah umur di desa Rite kecamatan Ambalawi, yang kini sudah jadi tersangka oleh Polda NTB. Namun demikian oleh pihak kepolisian Mapolres Bima Kota, Melalui Kanit PPA, mengatakan bahwa anak tersebut disaat kejadian umurnya sudah beranjak dewasa.


Penyidik Ditreskrimum Polda NTB menetapkan oknum perangkat desa di Bima inisial CT (45) sebagai tersangka persetubuhan anak di bawah umur.


Ia diduga menyetubuhi anak disabilitas inisial NR (17), 17 tahun, warga desa rite Kecamatan Ambalawi, Kabupaten Bima, di menunaikan pertanyaan publik dan masyarakat.


Saat ini, CT yang bertugas sebagai staf di desa Rite Kecamatan Ambalawi telah ditahan di Rutan Mapolda NTB. 


“Tersangka bersama berkas telah berada di unit PPA Reskrimum untuk menunggu proses lebih lanjut,” terang Kabid Humas Polda NTB, Kombes Pol Artanto.

 

Artanto menuturkan, kasus dugaan pencabulan tersebut terjadi awal tahun 2021 lalu. Saat itu, korban baru saja pulang dari sungai setelah pergi buang air besar (BAB) dan Korban saat itu melewati di depan rumah tersangka.


Saat itu tersangka memanggil korban untuk mampir, namun korban menolaknya dan terus berjalan pulang ke rumah.


Tersangka berusaha menarik korban untuk mampir dalam rumah, setelah masuk rumah tersangka mendorong korban hingga terjatuh, kemudian tersangka langsung mengunci pintu.


’’Tersangka melepas pakaian korban dengan cara sedikit memaksa. Korban teriak dan tersangka mengancam akan memukul korban bila menolak. Karena takut korban tidak berani melawan dan tersangka langsung menyetubuhi korban,’’ ungkapnya.

 

Ia menambahkan, penyidik telah mengamankan barang bukti masing-masing satu lembar identitas korban seperti akta dan ijazah, seluruh pakaian luar korban, serta bantal yang digunakan saat kejadian tersebut.


Tersangka CT dijerat dengan pasal 81 jo pasal 76D Undang-undang RI Nomor 17 Tahun 2016 tentang penetapan Peraturan Pemerintah pengganti Undang-undang RI No 1 Tahun 2016 tentang perubahan kedua Undang-undang RI Nomor 23 tahun 2002 tentang Perlindungan anak, tersangka terancam pidana penjara minimal 5 tahun. 


belakangan ini menjadi pembicaraan hangat di media sosial (medsos). Terutama di kalangan jurnalis (wartawan), pegiat media dan kalangan penyidik kepolisian.


Disinyalir, Penerbitan Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik tanggal 5 April 2021 yang ditujukan kepada para Kapolda Up Kabid Humas berpotensi membatasi kebebasan pers yang sudah diatur dalam Undang-Undang Nomor 40 Tahun 1999 tentang Pers. Selain itu, penerbitan Surat Telegram tersebut juga menutup masuknya kritik-kritik membangun dari media selaku representasi publik terhadap Lembaga Kepolisian.


Dalam Surat Telegram huruf B poin 1 disebutkan, media dilarang menyiarkan upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan, diimbau untuk menayangkan kegiatan Kepolisian yang tegas namun humanistik. 


Pelarangan penyiaran upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan ini berlawanan dengan ayat (2) Pasal 4 UU Pers: “terhadap pers nasional tidak dikenakan penyensoran, pembredelan, atau pelarangan penyiaran.


Selain itu, ayat (3) Pasal 4  UU Pers juga menyebutkan, “untuk menjamin kebebasan pers, pers nasional mempunyai hak mencari, memperoleh, dan menyebarluaskan gagasan dan informasi. Tentu, dalam menyajikan pemberitaan, pers juga  memiliki koridor tersendiri yang telah jelas diatur dalam Kode Etik Jurnalistik dan Pedoman Perilaku Penyiaran dan Standar Program Siaran (P3SPS).


Penerbitan Surat Telegram Kapolri yang ditandatangani Kepala Divis Humas Polri Inspektur Jenderal (Pol) Raden Prabowo Argo Yuwono atas nama Kapolri ditujukan dalam pelaksanaan peliputan yang bermuatan kekerasan dan/atau kejahatan dalam program siaran jurnalistik (huruf B) dan bukan semata-mata mengatur program kehumasan Polri. Oleh karena itu, Surat Telegram ini dikhawatirkan juga akan diterapkan pada peliputan-peliputan media massa/pers pada umumnya yang melakukan peliputan kegiatan-kegiatan Kepolisian.  


Pelarangan penyiaran upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan Kepolisian dikhawatirkan justru akan menutup upaya bersama untuk mewujudkan reformasi di tubuh Kepolisian. Padahal, transparansi menjadi salah satu syarat utama dalam proses perbaikan kinerja dan profesionalitas Kepolisian.


Adapun, untuk poin-poin isi Surat Telegram Kapolri Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 lainnya, Komite Keselamatan Jurnalis (KKJ) menilai isi materinya telah sesuai dengan UU Pers dan P3SPS.


Sehari setelah terbitnya Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021, Kapolri langsung mencabut Surat Telegram tersebut dengan menerbitkan Surat Telegram Nomor: ST/759/IV/HUM.3.4.5/2021 tanggal 6 April 2021 yang menyatakan pencabutan  Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tentang Pedoman Peliputan yang Bermuatan Kekerasan dan/atau Kejahatan dalam Program Siaran Jurnalistik.


Menyikapi terbitnya Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021 tanggal 5 April 2021, Komite Keselamatan Jurnalis menyampaikan beberapa hal: 


Mendesak Kepolisian RI untuk tidak lagi melakukan pelarangan penyiaran, termasuk penyiaran upaya/tindakan Kepolisian yang menampilkan arogansi dan kekerasan Kepolisian. Pelarangan terhadap kerja-kerja jurnalistik merupakan pelanggaran terhadap UU Pers.


Meminta Kepolisian RI untuk tetap terbuka terhadap kritik-kritik membangun dari manapun, termasuk pers demi kebaikan Kepolisian RI ke depan.

Mengapresiasi keputusan Kapolri Jenderal (Pol) Listyo Sigit Prabowo mencabut Surat Telegram Kepala Kepolisian Republik Indonesia Nomor: ST/750/IV/HUM.3.4.5/2021. Meski Surat Telegram tersebut akhirnya dicabut, namun Komite Keselamatan Jurnalis berharap preseden serupa tidak lagi terjadi ke depan.


Tentang Komite Keselamatan Jurnalis Komite Keselamatan Jurnalis dideklarasikan di Jakarta, 5 April 2019. 


Komite  beranggotakan 10 organisasi pers dan organisasi masyarakat sipil, yaitu; Aliansi Jurnalis Independen (AJI), Lembaga Bantuan Hukum (LBH) Pers, SAFEnet, Ikatan Jurnalis Televisi Indonesia (IJTI) Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI), Asosiasi Media Siber Indonesia (AMSI), Federasi Serikat Pekerja Media Independen (FSPMI), Amnesty International Indonesia, Serikat Pekerja Media dan Industri Kreatif untuk Demokrasi (SINDIKASI), Persatuan Wartawan Indonesia (PWI).