Keasyikan berburu, karena terburu-buru melihat target buruannya, membuat Sang Raja ceroboh hingga melukai jari kelingking tangannya sendiri oleh busur panahnya.
Akibat peristiwa itu, Sang Raja menjadi gundah dan hendak memintai pandangan Penasehatnya, gerangan apakah kiranya menimpa diriku, akankan ini sebuah pertanda buruk untuk kerajaan..?
Sang Penasehatpun menjawab dengan santun dan bijak.
Wahai Sang Baginda, sesungguhnya ini adalah pertanda baik, sebap Allah Maha tahu sesuatu yang tersembunyi untuk kebaikan tuanku Baginda kedepannya, baik untuk pribadi Baginda maupun untuk masa depan kerajaan Baginda.
Mendengar pencerahan seperti itu, bukanya membuat Sang Raja senang malah justru membuat Raja murka dan memerintahkan prajuritnya untuk memenjarakan si Penasehat malang, karena telah berani berkata seperti itu ke sang Penguasa, seorang Raja terkenal kala itu dalam kondisi menahan rasa perih akibat luka yang di alami saat itu.
Akhirnya Sang Penasehatpun dihukum penjara dengan batas waktu yang tidak ditentukan.
Terputusnya kelingking Sang Raja, tidak menyurutkan hasratnya untuk gemar berburu.
Dengan Penasehat baru, berangkatlah rombongan kerajaan mengawal Sang Raja untuk berburu dihutan yang cukup jauh dari kawasan kerajaan yang ia pimpin.
Karena keasikan mengejar buruannya, tersesatlah Sang Raja di tengah hutan bersama Penasehat barunya, hingga terpisah jauh dengan rombongan kerajaan yang mengawal sejak dari istana
Raja dan Penasehat barunya pun, akhirnya ditangkap oleh suku primitief yang hendak mempersiapkan penyembahan untuk sesembahanya berupa manusia.
Keduanya ditangkap dan di ikat lalu dimandikan sebagai syarat penyembahan oleh kaum suku primitif.
Saat dimandikan, terlihatlah kekurangan pada sifat Sang Raja, yakni jari kelingkingnya yang putus akibat perburuan tempo dulu, sehingga oleh suku primitief menganggapnya tidak cukup syarat sebagai sesembahan, dan hanya si penasehatlah yang menjadi tumbal penyembahan oleh suku tersebut.
Kepalanya dipenggal, darahnya di cecerkan hingga melingkari sekujur tubuh tuhan atau dewa para suku primitief tersebut.
Sang Bagindapun di usir, karena di anggap tidak cukup syarat sebagai persembahan..
Raja bersusah payah berjalan, dari lembah yang satu kelembah yang lain, naik turun bukit yang beribu-ribu kilo meter jaraknya, yang akhirnya hingga dapat ditemukan oleh rombongan kerajaan dan berhasil pulang ke istana kejaraan dengan penuh duka nestapa.
Sungguh menyesatkan dalam perjalanan sang raja saat berburu, mengakibatkan terjadinya sesat di tengah hutan, dan hutan dilalui oleh sang raja tersebut sangat mudah untuk dipantau, namun apalah daya jikalau tidak mempunyai makna nasehat, akan berujung pada kesesatan.
Di istana, iapun langsung menemui si penesahat yang dulu ia penjarakan untuk minta maaf dan berterimakasih bahwa, tempo hari nasehatmu adalah benar dan telah menyelamatkan saya dari sesembahan oleh suku primitief.
Mendengar cerita sang raja, penasehatpun tersenyum dan berterimakasih pada Sang Raja yang telah memenjarakannya. Wahai Sang Baginda, hambalah yang mesti harus berterimakasih kepada tuan, sebap andai saja tuan tidak memenjarakan saya, maka yang akan di pengal kepalanya untuk sesembahan tentu bukanlah penasehat yang baru tuan angkat, melainkan itu adalah hamba tuan ku..
Dilihat dari kisah tersebut berprasangka baik/positief terhadap segala hal adalah kebaikan nyata, yang endingnya sesuai dengan rukun iman yang ke 6 yakni percaya pada Qada dan Qadar, kehendak Allah dan geraknya seutas rambut manusia pun, tentu hanya seijinnya.
Apapun yang terlihat mata, didengar oleh telinga adalah hal yang tentu menjadi skenario Allah swt, tanpa dan tak perlu kita kaji dengan keterbatasan kita sebagai hamba yang do'if untuk memahaminya.
Mulai sekarang cobalah implementasikan rukun iman dan jauhilah pikiran-pikiran negatif terhadap apapun dan jangan gunakan akal kita sebagai kalkulator untuk menghitung maksud baik dari skenario yang dimainkan oleh Allah Swt," Bersambung. Bima bersejarah di balik saat ini.
Posting Komentar